Pertama kali melihatnya, aku tahu apa yang kurang dari hidupku
Prolog
"Papa, ini Arini. Arini, ini Papaku"
Lelaki beraut ramah dan tampan itu tersenyum, mengulurkan tangannya "Andra."
Aku membalas ulutan tangannya dengan senyum sopan, "Salam kenal Om"
"Papa traktir makan ya" pinta Kesha dengan manja.
Aku membuka pintu belakang sedangkan Kesha duduk di samping Om Andra.
"Makan padang, mau?" tanya Om Andra yang mulai menjalankan mobil.
Aku tidak suka masakan
padang tapi aku tidak mengatakannya, aku masih punya sopan santun dan
aku ingin melihatnya lebih dekat. Aku mengintip - intip melalui ujung
mataku caranya berinteraksi dengan Kesha.
"Kesha gimana Rin kalau
di kampus?" tanya Om Andra dengan suara yang menunjukkan ketegasan namun
juga kelembutan kasih sayang di dalamnya.
"Eh, baik kok Om"
jawabku singkat karena aku benar - benar tidak tahu harus bicara apa,
perasaan bergejolak di dalam dadaku membuatku tidak ingin banyak bicara
dan hanya menatapnya.
"Tidak usah takut
memberitahu Om kalau Kesha nakal. Om akan mengurungnya di kamar" katanya
seakan Kesha itu anak umur 6 tahun bukannya 19 tahun.
"Papa aaah... apaan sih!" protes Kesha setengah kesal setengah manja.
Om Andra tertawa menanggapi protes putrinya. Tawanya berat tapi riang, membuat wajahnya lebih cerah.
"Arini asalnya mana?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
"Jombang Om"
"Di sini ngekos atau ada keluarga?"
"Nge-Kos Om"
Om Andra tersenyum
simpul lalu tidak ada percakapan lagi. Kesha pernah bercerita padaku
kalau Om Andra selalu sibuk, mengingat jabatannya sebagai kepala bagian
keuangan tapi jika dia masih mau menjemput anaknya seperti saat ini, Om
Andra pasti ayah yang baik.
---------------------------------------------------------
Baunya harum sekali,
lezat, mengundang dan aku yakin warna emas berkilaunya akan menambah
selera. Aku mengambil tutup tupperware pasangannya dan menutupnya dengan
senyum puas. Om Andra pasti suka. Aku mengemasi nasi dan sayur di
tupperware lain, memasukkan ketiga-nya ke dalam tas jinjing yang khusus
untuk Om Andra. Harga bukan masalah jika untuk lelaki yang aku cintai
itu.
"Mbak mau kencan lagi
ya?" Tanya Dian, adik tingkat juga adik kosku saat aku melewati kamarnya
yang ada di samping pintu depan. Dia sedang tiduran di lantai sambil
menghadap laptop yang mengeluarkan bunyi salah satu game online di
Facebook.
"Iyap" jawabku riang.
"Mbak, pacarnya kok nggak pernah datang ke kos sih?"
Aku hanya tersenyum menjawabnya dan segera mengaitkan ikatan sepatuku "Pergi dulu ya. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Langit cerah berwarna
biru dengan awan putih jarang-jarang menghiasinya, jika saja ada angin
sejuk lembut membelai maka akan sangat menyenangkan tapi apa mau dikata,
Surabaya bukan Surabaya tanpa udara panas dan tanpa anginnya. Aku harus
berjalan agak jauh sekitar 500 meter untuk sampai di jalan raya. Kantor
Om Andra agak jauh dari kosku, harus naik bis kota lalu oper angkot.
45 menit berada di atas
kendaraan umum, akhirnya aku sampai di depan Condroadi Tower, gedung
bertingkat 23 dan dihuni berbagai perusahaan salah satunya perusahaan
Condroadi Finance Surabaya tempat Om Andra bekerja. Begitu masuk, aku
tidak langsung naik lift tapi masuk ke toilet, merapikan diri dan
menyemprot parfume aroma citrus. Begitu yakin make up dan bajuku cantik,
aku baru menuju lift.
"Hai Rin!" Sapa Mbak Lilis, resepsionis gedung itu.
"Hai Mbak. Apa kabar?"
"Baik. Kamu bawain pak Andra makan siang lagi?" Tanyanya melihat tas yang aku bawa.
"Iya mbak"
"Lha, Kesha-nya mana?"
"Katanya nanti nyusul. Ya udah, naik dulu ya mbak"
"Oke"
Aku memencet angka 14,
lantai tempat Om Andra bekerja dan begitu keluar hanya sedikit karyawan
yang terlihat mengingat ini jam makan siang. Aku mengetuk tiga kali
lalu masuk. Ruangan yang telah akrab denganku selama beberapa bulan ini,
ruangan itu terasa seperti Om Andra dengan semua perabotan sederhana
namun hangat dengan warna coklat-nya lalu wangi citrus yang menyegarkan
favorit Om Andra. Itulah kenapa aku memakai parfume dengan wangi itu.
Lelaki yang aku cintai
sedang duduk dengan santai di belakang mejanya, menelfon seseorang
sepertinya. Om Andra terlihat kaget melihatku dan menurunkan ponselnya.
"Arini? Kapan datang?" Tanyanya dengan suara yang selalu membuat hatiku hangat.
Aku tersenyum lebar, menghampiri Om Andra dan meraih tangannya, memberi ciuman lembut "Barusan Om. Kok kaget gitu?"
"Ah, Om mau ngomong sesuatu ke kamu sebelum kamu datang."
"Kok nggak telfon?"
Om Andra tertawa,
memperlihatkan ponselnya yang menyala memperlihatkan menelfon seseorang.
Aku. Aku terkesiap, meletakkan tas makan siang untuk Om Andra di meja
dan merogoh tas, ponselku berkedip-kedip tapi tidak bersuara. Panggilan
Om Andra berhenti dan aku melihat ada 3 Misscall dan 2 SMS dari Om
Andra.
"Aku silent" kataku meringis, baru sadar kebodohanku.
Om Andra tidak marah,
malah mengeluarkan senyum jenakanya. Aku tertawa dan berjalan ke
belakang Om Andra, meletakkan tanganku di pundaknya dan memijitnya
dengan tekanan yang tepat untuk membuat otot tegang menjadi rileks
sebagai bentuk permintaan maafku "Kaku banget Om."
Om Andra menikmati
pijatanku selama 5 menit sebelum menanggapi "Biasa, mau deadline.
Ngomong-ngomong, hari ini kamu membawakan apa?"
Aku melepaskan pundak Om
Andra dan membukakan tas makan siangnya "Ayam goreng bumbu spesial dan
sayur bening, persis seperti favorit Om"
Om Andra tertawa senang, "Siang ini seperti surga. Ditemani bidadari cantik dan makanan lezat"
Aku tersenyum lebar, begitu senang mendengar pujiannya "Aku ambilkan piring dan Kopi untuk Om."
"Kamu selalu tahu apa yang aku mau Arini."
"Tentu saja." Aku berjalan dengan riang ke pintu "apa aku lulus sebagai istri Om?"
"Setelah aku bercerai dari wanita tua, cerewet dan galak itu, aku akan menikahimu"
"aku menunggu" kataku sambil mengedipkan mata.
Aku membuka pintu lebih
lebar dan berhadapan dengan sosok asing yang membuatku kaget. Sosok
tinggi dan lebar itu memperhatikanku dari atas ke bawah, membuatku gugup
karena ketampanan dan otot - otot menggelembung yang membuat kemejanya
tertarik ketat.
"Anda.. mencari Om Andra?"
"Ya. Dia ada di dalam?"
Aku mengangguk bersamaan
dengan pintu yang terbuka, Om Andra muncul di belakangku. Aku mendongak
dan terkesima sekali lagi dengan sosok lelaki di belakangku. Om Andra
sangat tampan dan berwibawa, sempurna dengan tubuhnya yang terlihat
hangat membuatku ingin memeluknya erat.
"Pak Sebastian, ada apa?" tanya Om Andra yang terdengar lebih formal.
Pak Sebastian. Dia atasan Om Andra? Aku melihat sosok yang fisiknya hampir seperti buto ijo. Besar, tinggi, lebar, dan sayang sekali sangat tampan.
"Saya ingin mengajak anda berbicara sesuatu sambil makan siang, bisa?"
Om Andra melihatku yang
memang selalu memperhatikannya, aku memberinya senyum pengertian dan itu
membuatnya menjawab, "Tentu. Saya permisi sebentar" Om Andra menyentuh
pundakku, menarikku masuk lagi ke dalam kantornya.
"Maaf ya Rin, makanannya jadi mubadzir. Padahal kamu sudah susah buat" katanya dengan lembut penuh penyesalan.
"Nggak apa Om, Arini
ngerti kok." Aku beranjak cepat menghampiri mejanya, mengambil jas yang
disampirkan di belakang kursi "Om mau pakai jas-nya atau bawa dompetnya
aja?"
"Jas-nya"
Aku mengambil jas itu
dan memberikannya ke Om Andra dan langsung dia pakai, membuatnya semakin
gagah. Tangannya terulur kekepalaku, menyentuhku dengan cara yang
selalu membuatku luluh padanya "Maaf ya, Om janji akan mengganti ini.
Gimana kalau makan malam? Besok?"
Aku tersenyum lebar, senang dengan kompensasi yang diberikannya "Oke. Janji ya"
"Iya. Om pergi dulu"
"Hati - hati Om."
Tangan besarnya mengusap pipiku sebelum dia pergi dengan Pak Sebastian yang tidak tahu jabatannya apa.
"Putri anda?"
"Bukan, teman putri saya"
Aku hanya bisa mendengar
satu percakapan itu karena mereka semakin menjauh dan aku masih di
dalam ruangan Om Andra. Aku melihat ayam goreng spesial yang terlihat
menyedihkan karena tidak dimakan. Aku menutup kotak plastik itu,
memutuskan untuk memberikannya ke Office Boy yang ada di lantai ini.
Rasanya masih sedih karena tidak bisa makan bersama Om Andra padahal
kami sudah tidak bertemu selama seminggu tapi senang juga karena kami
akan makan malam. Aku merasa semangat lagi, memikirkan dimana tempat
untuk makan malam yang pas. Aku tidak ingin tiba - tiba Kesha atau
kenalanku melihat kami makan bersama. Konsekuensinya aku tahu tidak akan
indah.