Monday, December 30, 2019

2 - Dekaplah apa yang sudah kamu miliki, seperti apapun pahitnya karena ada lebih baik dari tiada

Aku tahu ini terlalu berani tapi tidakkah aku punya hak untuk merasakannya meski hanya sedikit. Dada bidang untuk menampung tubuhku dan lengan besar yang menangkupku. Badannya menjadi kaku karena aksiku tapi kemudian menjadi luluh lalu memberiku kehangatan seperti yang ada diangaku. Aku memejamkan mata, menikmati mimpi yang kuciptakan sejak pertama kali aku melihatnya. Namun aku tahu seindah apapun ini, aku tidak bisa menapakinya karena ini seperti awan yang menghilang jika kau sentuh. Aku melepaskan pelukanku perlahan, tidak rela namun harus.
“Ada apa Rin?” tanya Om Andra lembut
“Nggak apa – apa” jawabku bohong dan Om Andra tertawa mengetahuinya
“Arini, Arini, Om ini punya 2 anak perempuan dan satu istri. Om tahu kalau perempuan bilang nggak apa – apa, artinya apa – apa. Jujurlah sama Om, Apa? Masalah cowok?”
Aku menggeleng. Suara dan tatapannya padaku membuatku ingin mengungkapkan semuanya seperti setiap kali kami bertukar kabar tapi aku takut dia akan membenciku.
“Ada apa?” tanyanya lagi lebih menuntut jawaban
“Aku nggak pengen ke Amerika Om”
Air mataku menetes deras setelah mengatakannya, sungguh, aku tidak ingin mengeluarkannya. Otakku sudah memerintah mulutku untuk tidak berkata tapi hatiku terlalu lelah, terlalu penuh dan ingin mengeluarkan semuanya, membaginya dengan seseorang yang dia percayai.
Om Andra mendorong bahuku turun perlahan, membuatku duduk di sofa “Ceritakan semua dari awal Rin”
Aku menceritakan soal ayahku, dimana semuanya berawal. Ayah yang aku ingat adalah sosok pria besar, tinggi, berbicara denganku lebih sedikit dari Ibu dan Mas-Masku. Masku ada 5 dan semuanya lelaki, mereka kadang menyebalkan tapi kadang juga menyenangkan, menggendongku, mengajak main kadang membagiku kola-kola (coca-cola) mereka. Minuman itu mengerikan rasanya, terasa geli dimulut dan rasanya pahit aku tidak tahu kenapa mereka harus sampai menabung untuk membelinya. Aku lebih suka rasa susu yang melumer dilidahku dan mendapatkan buku cerita baru setiap kali Ibu membeli kotak baru.
Ayah selalu mengendarai mobil berwarna hijau yang membuatku bangga. Hanya Ayah yang punya mobil itu dan aku suka setiap kali menaikinya. Ibu akan memangkuku dan aku bisa melihat pohon dan rumah berlarian di depanku. Ayah selalu berangkat saat aku sarapan, ayah selalu memakai celana panjang, kemeja berwarna putih dan tas kotak berwarna hitam yang tidak boleh aku sentuh. Ayah akan menarik tasnya saat aku menyentuhnya. Namun sore hari itu, aku tidak mendengar deruman mobil hijau Ayah. Tidak ada jejak ban lucu yang menggiling tanah halaman depan rumah padahal jejak pagi hari sudah hilang. Jejak ban lucu kesukaanku tidak muncul esok sorenya, sorenya, dan sorenya lagi begitu juga Ayah dan tas kulitnya yang terasa enak setiap disentuh.
Ayah meninggalkan kami semua, keluarga yang dia bentuk sendiri. Kami tidak tahu kerena apa tapi kemudian surat PHK dari pabrik tempat ayah bekerja memberi kami alasan. Ayah bahkan membawa uang pesangonnya dan meninggalkan kami dengan apa yang ada. Ibu yang hanya ibu rumah tangga selama ini menjadi kalut, dia harus menghidupi 6 anak sendirian tanpa keterampilan. Ibu akhirnya ikut bekerja di sawah bersama keluarganya yang selama ini menjadi penyewa sawah. Mas Alfa, Mas Alvin, Mas Faisal dan Mas Aan ikut membantu Ibu sedangkan aku dan Mas Agha yang masih berusia 5 dan 7 tahun tinggal di rumah.
Keluarga kami menjadi gunjingan semua orang, bagaimana tidak saat kehidupan kami yang sempurna menjadi jatuh. Tetangga yang dulu selalu ramah pada kami jadi memincingkan mata curiga, mewaspadai jika kami mencuri. Ibu yang dulu selalu lembut, memeluk meski kadang menjewer sayang, kini menjadi keras karena keadaan. Kami sering kelaparan tapi Ibu tidak akan pernah menerima belas kasihan dari orang – orang dan akhirnya Ibu memutuskan untuk memberikan tiga masku ke keluarga jauh yang mampu dan ingin memiliki anak. Mas Faisal pergi dengan keluarga yang tinggal di Bandung, Mas Aan pergi dengan keluarga yang tinggal di Jakarta tapi kemudian pindah ke Amerika, Mas Agha pergi dengan keluarga yang di Kalimantan. Setelah kepergian ketiga masku itu, Mas Alfa dan Mas Alvin menjagaku lebih dari sebelumnya. Mereka merasa menyesal tidak bisa mempertahankan adik – adik mereka.
Ibu, Mas Alvin dan Mas Alfa bekerja sangat keras melakukan apapun yang bisa dilakukan. Saat aku kelas 2 SMP, kehidupan kami membaik. Warung kecil – kecilan Ibu semakin berkembang, sawah semakin produktif. Mas – masku mungkin tidak lulus SMP tapi mereka giat belajar dari pengalaman. Hanya aku yang tetap menjadi beban, aku selalu naik kelas dengan nilai mepet, Ibu selalu marah akan kebodohanku. Meskipun kehidupan kami membaik tapi Ibu tidak kembali menjadi Ibu yang sebelum Ayah pergi. Ibu tidak akan segan – segan memukul anaknya yang menurutnya salah.
“Tapi seperti apapun, aku sayang Ibu. Aku ingin berbakti pada Ibu tapi aku nggak bisa menjadi apa yang Ibu inginkan. Aku nggak akan sanggup. Apakah aku salah kalau ingin jadi guru TK?”
Selama keadaan berat itu, aku mendapatkan kasih sayang dan bimbingan dari guru TK-ku. Beliau seorang wanita yang sabar, baik dan mengerti aku. Itulah kenapa aku ingin jadi guru TK, aku ingin membantu seorang anak yang memiliki masalah seperti aku.
“Orang tua hanya ingin yang terbaik untuk anak mereka Rin. Mungkin kami terlihat memaksa kalian tapi kami hanya ingin kalian mendapatkan masa depan yang lebih baik dari kami. Jika Kesha ingin jadi guru TK, Om juga akan keberatan. Tapi salah jika Ibumu memukul hanya untuk menunjukkan keinginannya. Tidak ada seorang pun yang berhak dilukai. Kalian semua terluka dan kamu hanya anak – anak, itu tidak seharusnya terjadi.”
“Aku nggak keberatan tentang Ibu yang memukul kok” kataku yang entah bagaimana mengatakannya dengan suara ceria.
“Benarkah?”
Aku menggeleng dan terisak, “Aku ingin dipeluk Ibu. Aku ingin disayang Ibu seperti dulu”
Om Andra membawaku kepelukannya dan aku memeluknya erat. Om Andra tetap memelukku walaupun aku membasahi kemejanya dengan air mata. Aku mungkin keterlaluan tapi aku ingin menikmati ini, pelukan hangat seseorang yang bisa kuanggap sebagai pelukan seorang ayah.
“Maaf Pak”
Om Andra? Minta maaf ke siapa? Aku menggerakkan tubuhku, pipiku rasanya lengket pada kulit sofa. Mataku panas dan kepalaku pusing. Aku pasti menangis sampai ketiduran lagi. Jam berapa ini?
“Tidak masalah, lain kali saja”
“Sekali lagi maaf Pak”
“Kalau begitu saya pergi dulu”
Aku ingat suara itu. Suara Pak Sebastian. Dadaku mengembang bahagia karena Om Andra rela menolak Pak Sebastian demi aku, tentu aku merasa tidak enak tapi tetap saja aku bahagia menjadi prioritasnya saat ini.
Pintu kaca terbuka dan Om Andra muncul, dia tersenyum lembut padaku “Sudah baikan?”
Aku mengangguk malu, “Maaf Om, udah ngerepotin”
“Nah, Om juga sering ngerepotin kamu” katanya rendah hati. Aku tidak pernah merasa direpotkan olehnya karena aku melakukan semuanya dengan senang hati.
“Jam berapa Om?”
“Jam 5”
Aku ternganga, “Ya ampun, aku tidurnya lama ya”
“Tidak apa. Mau pulang sekarang?”
“Iya Om”
“Makan dulu ya. Mau makan dimana? Om traktir”
“Terserah Om aja deh tapi bentar ya, aku mau beresin muka. Pasti jelek banget deh. Ngeri ya?” tanyaku sambil menyentuh pipiku. Aku memakai eyeliner waterproof tapi tetap saja, aku kan menangisnya entah berapa liter.
Om Andra tertawa “Bukan jelek, tapi lucu”
“Oooom.... jahat ahhh” aku cepat – cepat keluar dari ruangan Om Andra, mencari kamar mandi. Saat aku akan masuk kamar mandi wanita, Pak Sebastian keluar dari kamar mandi lelaki yang ada di seberang kamar mandi wanita. Aku mengangguk, memberinya salam hormat dan segera masuk, tidak ingin dia melihat tampang monster-ku.
Eyeliner waterproof-ku sedikit meluber, membuat berkas hitam di mataku, aku terlihat seperti tidak tidur berminggu – minggu. Mataku merah, rambutku berantakan, hidungku merah dan tidak ada bekas bedak ataupun blush on di wajahku. Hilang semua. Aku mencuci muka, membersihkan semua kekacauan itu, aku hanya memakai lipstik agar terlihat lebih segar. Om Andra mentraktirku makan malam di restoran seafood, selama itu Om Andra melucu, membuat hatiku jadi lebih enteng. Aku mengakhiri hari ini dengan indah setelah aku mengawalinya dengan hati yang terdesak, sesak.
Aku melepaskan seatbelt begitu mobil Om Andra berhenti di gang kosku, “Makasih ya Om”
“Sama – sama cantik. Istirahat ya”
“Iya. Um...” Kami saling bertatapan dan aku mengeluarkan keberanianku untuk mengatakan hal yang sangat penting “Andai Om benar – benar ayahku, aku akan menjadi anak paling bahagia di dunia” kataku dengan segenap hati. Aku merasa malu setelah mengungkapkan impianku padanya.
“Kamu nembak Om nih Rin? Om sih tidak keberatan punya satu putri lagi, apalagi yang pinter masak dan perhatian. Gimana kalau diadopsi saja?” tanyanya dengan wajah jahilnya.
“Om ih... jangan lebai deh. Aku masih punya keluarga. Meski aku nggak punya yang seperti Om tapi aku punya 5 kakak laki – laki yang gagah – gagah nggak tambun kayak Om”
Tangan Om Andra otomatis turun ke perutnya yang mulai membuncit karena jarang olahraga, “Yah udah bawaan usia tapi tetep seksi ini”
“Iiih.. seksi dari mana. Nanti diselingkuhin tante Tessa baru tahu rasa!”
“Oh.. tidak bisaa. Tidak ada yang tahan sama Tessa kecuali Om. Galaknya itu”
Aku menaik – naikkan alisku menggoda “Tapi cinta kaan..”
“Ya cinta lah” kata Om Andra tanpa malu – malu.
Om Andra mungkin orang yang suka bercanda dan agak gokil tapi dia selalu gamblang menunjukkan cintanya kepada keluarga. andai saja.

COBA BACA YANG INI, DEH

Pengalaman Pertama Lolos Google Adsense Wow!

Hai, gimana kabar kalian? Baik? Ada yang berubah nggak dari blog aku? YAP, Sekarang ada IKLAN nya! Ih, kok sekarang ada iklannya sih?...

EH, BANYAK YANG LIHAT!